Selasa, 25 Oktober 2016

Darwinisme

Darwinisme
Oleh: Addy Hasan

Tahukah engkau suku Aborigin kawanku
Merekalah pemilik benua sebelah negara kita, dulu
Tak berbaju dan primitif gaya hidupnya, katanya
Berladang dan berburu untuk hidup bukan gaya hidup


Gerombolan tahanan datang dengan ekspedisinya
Tertawa pandangi sang Aborigin lugu
Bercengkrama layaknya kawan seraya patok tanah
Ajari hidup Aborigin agar lebih maju untuk siasat

Tak lama serdadu berlabuh dengan larasnya
Bawa amunisi dan mesiu perangi suku
Tindas yang tak mau tunduk, libas tuntas
Evolusi Darwinisme terwujud, Aborigin kelam sejarahnya kini

Pluit dan Pasar Ikan adalah ruang sosial, dulu
Pedagang kecil, nelayan, guru dan anak-anak saling bersapa
Calon penguasa membawa bingkisan untuk bersiasat
Blusukan sambil meninggalkan sepatu laras aparat

Bagai pesulap berubahlah puing jadi taman
Rawa jadi hunian baru mewah nan congkak
Bukan pemilik lama kawanku tapi baru nan elit
Kaum nestapa minggir berjubel kandang bagai burung

Pantainya Jakarta indah katanya, untuk kapuk orang elit
Air melimpah jika hujan karena memang rawa, dulunya
Tapi dengan rupiah semua bisa disulap
Akankah Darwinisme terus berlanjut kawanku……

 Jakarta, 25 Oktober 2016

Centeng

Centeng
Addy Hasan

Centeng Belanda petantang petenteng dengan pongahnya, dulu
Berkeliaran bak nasionalis menusuk dari belakang
Pundi-pundi Centeng penuh dengan Gulden, dulu
Tertawa atas penjajahan kaumnya sendiri


Centeng berdasi sepatu mengkilap, kini
Layar kaca mewarnai wajah-wajah badaknya
Tak perlu pundi karena kartu elektronik, kini
Dengan caci makinya Centeng menunjuk wong cilik

Tak peduli aturan karena cukup diskresi tuan, pongahnya
Sang Centeng berakrobat alasan putar balik fakta
Tak perlu Nurani karena pragmatisme akut, kantongnya
Matematika logika hidupnya, untung rugi

Centeng beraksi berdiri di atas puing
Rela gusur bangsa dari mata pencahariannya, mati
Biarlah jelata digusur asal proyek bagi Centeng
Centeng centeng tak punya hati

Jakarta, 26 Oktober 2016

Sinking the Poor



Sinking the Poor
Addy Hasan


Jakarta was the city of every citizen
Where the poor and the rich used to meet
Jakarta was the city of millions hope
When the struggle and dreams came

But, Jakarta today is not used to be 
Sinking the dreams and hope of poor
Jakarta is for the have
Left behind tears and cries of mother and children

The poor was evicted from their homeland
Leaving their dreams and hope
The rich were risen to the skyscraper
Getting their wealthy and success


 Thousand houses of fishermen were destroyed
Near luxury apartments and gallant malls
All is evicted, until it is destroyed.
Now Jakarta only for conglomerates
In the name of development said the leader


Ciliwung riverbank, Luar Batang, Rawajati all is evicted
Left debris and hurts
But not Mangga Besar the buildings of Conglomerates
Thousand houses and giant buildings stand still

The poor living in hired narrow flat
Let them live like a bird in a cage
Make them to rent the flat to the rest of life
It is the place for the poor

Coast Jakarta is for cartel not fishermen
Made children miss school, fathers were forced to idle
And again it is for modernization
And the leader said again “It’s for better Jakarta”

Sinking the poor…

Jakarta, 17 October 2016